Sila rujuk di sini
Khamis, 29 Mac 2012
Selasa, 27 Mac 2012
Kisah gelap Ghulam Ahmad Qadiani
Label:
Bid'ah dan Khurafat
Saat itu, pada tahun 1888, Mirza Ghulam Ahmad, pengasas Qadianiyah/Ahmadiyah, berkeinginan menikah lagi. Calon yang dipilih, gadis bernama Muhammadi Begum, anak dari Al-Mirza Ahmad Bek, yang merupakan putera dari emak saudaranya. Namun tidak seperti selayaknya lelaki yang hendak meminang, Mirza mendatangi keluarga si gadis dengan memberi ancaman sekaligus janji. Jika pihak keluarga si gadis menerima pinangannya, maka hal itu akan memberikan keberkatan yang besar, namun jika ditolak maka sesuatu yang buruk akan terjadi kepada si gadis. Jika dinikahkan dengan pemuda lain, maka suaminya itu akan mati setelah dua setengah tahun.
Mirza juga mengatakan, ”Allah telah memberi khabar kepadaku, ‘gadis Al-Mirza Ahmad Bek yang paling sulung (Muhammadi Begum) akan menjadi isterimu dan keluarganya akan memusuhimu. Dan mereka melarangmu dan berusaha keras untuk menggagalkan hal itu (pernikahan). Akan tetapi Allah akan melaksanakan janjinya dan memberikan kepadamu sama ada dalam keadaan gadis mahupun janda dan hilanglah penghalang dan hal ini terlaksana. Tidak ada yang mampu menolak terhadap apa-apa yang ditetapkan Allah.”
Walau Mirza berkali-kali menyatakan bahawa semua itu bersumber dari wahyu, pihak perempuan tetap dengan pendiriannya, tidak mahu menikahkan si gadis dengan Mirza. Malahan gadis itu dinikahkan dengan seorang pemuda lain bernama Al-Mirza Sulthan Muhammad pada tanggal 7 April 1892.
Isteri anaknya Mirza, Fadhlu Ahmad, juga tidak setuju akan hal itu, hingga Mirza memerintahkan anaknya agar menceraikan isterinya. Para pengikut Ahmadiyah akhirnya berdoa di masjid-masjid agar ancaman yang disebarkan Mirza sebagai wahyu dan janji Allah itu benar-benar terjadi. Namun, apa yang terjadi?
Ternyata setelah keduanya menikah, tidak terjadi apa-apa terhadap wanita tersebut. Dan setelah waktu berlalu dua setengah tahun, suami gadis itu, Al-Mirza Sulthan Muhammad, juga baik-baik sahaja. Bahkan, Mirza meninggal terlebih dahulu pada tahun 1908, sedangkan Sulthan Muhammad masih hidup bersama isterinya hingga perang dunia pertama.
Sebelumnya, Mirza pertama kali menikah tahun 1852 atau 1853. Dari pernikahan ini, dia memperoleh dua anak. Kemudian pada tahun 1884 ia menikah lagi di Delhi. Namun, pada tahun 1891 terjadi perceraian, antara Mirza dengan isteri pertamanya. Isteri kedua ini dipanggil oleh para pengikut Ahmadiyah dengan penggilan “ummul mukminin”. (Sirah Al-Mahdi, 1/53)
Tak Salatkan Anak kerana Menolak Bergabung
Putera sulung Mirza dari isteri pertama yang bernama Fadhlu Ahmad enggan mengikuti seruan ayahnya itu. Hingga ketika meninggal dia pun tidak disalati oleh Mirza, walaupun dalam urusan duniawi dia taat kepadanya. (lihat, Anwar Khilafat, hal. 91)
Gaya Hidup Mewah Keluarga Mirza
Mengenai gaya hidup keluarga Mirza, Khawajah Kamaluddin pernah mengeluh sama ada kepada Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore mahupun Syaikh Surur Syah yang juga pengikut Ahmadiyah. Anak-anak perempuan dan isteri Syaikh Surur Syah mulai menentang pengiriman wang ke Qadian, setelah mereka pergi ke tempat itu dan tinggal sesaat. Anak-anak dan isterinya mengatakan, ”Kami telah menyaksikan kehidupan nabi, para sahabatnya dan isteri-isterinya di Qadian. Sesungguhnya mereka hidup dalam kenikmatan.” Mereka merasa ditipu, dan setelah itu mereka tidak mahu menyumbangkan wang ke tempat itu lagi. (lihat, Kasyfu Al-Ikhtilaf, hal. 13)
Khawajah Kamaluddin juga pernah mengatakan kepada Muhammad Ali, ”Sesungguhnya Hadzrat Mirza telah memerintahkan kita berinfaq untuk dakwah, sedangkan dia sendiri hidup dalam kebanggaan dan kenikmatan.”
Muhammad Ali menjawab, ”Sesungguhnya saya tidak boleh memungkiri hal ini, namun kita tidak diharuskan untuk mengikuti nabi dalam sifat manusiawinya.” (Haqiqah Al- Ikhtilaf, hal. 50)
Sebenarnya, pada awalnya, Mirza hanya seorang pegawai rendah, namun lama-kelamaan taraf hidupnya mulai meningkat. Hingga ia terbiasa dengan makanan yang bergizi dan minyak misk. Terkadang juga dia mengambil minuman penguat yang memabukan alias tonic wine. (Majmu’ Ar Rasail, hal. 5)
Di masa remajanya, Mirza pernah memiliki masalah dengan psikologinya, kerana menderita hysteria. Ketika penyakit ini berlaku dia mungkin pengsan dan menjerit-jerit. (Sirah Al-Mahdi, 1/67)
Keluarganya termasuk pihak yang amat setia terhadap pemerintahan Inggeris. Bahkan ayahnyalah yang membantu Inggeris dengan 50 ekor kuda untuk kepentingan revolusi tahun 1807. (Kitab Al-Bariyah, hal. 3-5)
Meninggal Pasca Mubahalah
Pada tahun 1907, setelah memiliki ramai pengikut, Mirza mengadakan mubahalah dengan Maulana Tsanaullah Amritsari, dengan risiko barang siapa berbohong salah seorang di antara keduanya, maka ia akan mati. (Tabligh Ar Risalan, 10/120)
Pada Mei tahun 1908 Mirza dijangkiti penyakit kolera parah dan akhirnya meninggal. Ia dimakamkan di pemakaman yang dinamakan sebagai pemakaman syurga (Bahesti) di Qadian. Sedangkan Maulana Tsanaullah Amritsari sendiri baru wafat pada tahun 1948.
Mirza juga mengatakan, ”Allah telah memberi khabar kepadaku, ‘gadis Al-Mirza Ahmad Bek yang paling sulung (Muhammadi Begum) akan menjadi isterimu dan keluarganya akan memusuhimu. Dan mereka melarangmu dan berusaha keras untuk menggagalkan hal itu (pernikahan). Akan tetapi Allah akan melaksanakan janjinya dan memberikan kepadamu sama ada dalam keadaan gadis mahupun janda dan hilanglah penghalang dan hal ini terlaksana. Tidak ada yang mampu menolak terhadap apa-apa yang ditetapkan Allah.”
Walau Mirza berkali-kali menyatakan bahawa semua itu bersumber dari wahyu, pihak perempuan tetap dengan pendiriannya, tidak mahu menikahkan si gadis dengan Mirza. Malahan gadis itu dinikahkan dengan seorang pemuda lain bernama Al-Mirza Sulthan Muhammad pada tanggal 7 April 1892.
Isteri anaknya Mirza, Fadhlu Ahmad, juga tidak setuju akan hal itu, hingga Mirza memerintahkan anaknya agar menceraikan isterinya. Para pengikut Ahmadiyah akhirnya berdoa di masjid-masjid agar ancaman yang disebarkan Mirza sebagai wahyu dan janji Allah itu benar-benar terjadi. Namun, apa yang terjadi?
Ternyata setelah keduanya menikah, tidak terjadi apa-apa terhadap wanita tersebut. Dan setelah waktu berlalu dua setengah tahun, suami gadis itu, Al-Mirza Sulthan Muhammad, juga baik-baik sahaja. Bahkan, Mirza meninggal terlebih dahulu pada tahun 1908, sedangkan Sulthan Muhammad masih hidup bersama isterinya hingga perang dunia pertama.
Sebelumnya, Mirza pertama kali menikah tahun 1852 atau 1853. Dari pernikahan ini, dia memperoleh dua anak. Kemudian pada tahun 1884 ia menikah lagi di Delhi. Namun, pada tahun 1891 terjadi perceraian, antara Mirza dengan isteri pertamanya. Isteri kedua ini dipanggil oleh para pengikut Ahmadiyah dengan penggilan “ummul mukminin”. (Sirah Al-Mahdi, 1/53)
Tak Salatkan Anak kerana Menolak Bergabung
Putera sulung Mirza dari isteri pertama yang bernama Fadhlu Ahmad enggan mengikuti seruan ayahnya itu. Hingga ketika meninggal dia pun tidak disalati oleh Mirza, walaupun dalam urusan duniawi dia taat kepadanya. (lihat, Anwar Khilafat, hal. 91)
Gaya Hidup Mewah Keluarga Mirza
Mengenai gaya hidup keluarga Mirza, Khawajah Kamaluddin pernah mengeluh sama ada kepada Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore mahupun Syaikh Surur Syah yang juga pengikut Ahmadiyah. Anak-anak perempuan dan isteri Syaikh Surur Syah mulai menentang pengiriman wang ke Qadian, setelah mereka pergi ke tempat itu dan tinggal sesaat. Anak-anak dan isterinya mengatakan, ”Kami telah menyaksikan kehidupan nabi, para sahabatnya dan isteri-isterinya di Qadian. Sesungguhnya mereka hidup dalam kenikmatan.” Mereka merasa ditipu, dan setelah itu mereka tidak mahu menyumbangkan wang ke tempat itu lagi. (lihat, Kasyfu Al-Ikhtilaf, hal. 13)
Khawajah Kamaluddin juga pernah mengatakan kepada Muhammad Ali, ”Sesungguhnya Hadzrat Mirza telah memerintahkan kita berinfaq untuk dakwah, sedangkan dia sendiri hidup dalam kebanggaan dan kenikmatan.”
Muhammad Ali menjawab, ”Sesungguhnya saya tidak boleh memungkiri hal ini, namun kita tidak diharuskan untuk mengikuti nabi dalam sifat manusiawinya.” (Haqiqah Al- Ikhtilaf, hal. 50)
Sebenarnya, pada awalnya, Mirza hanya seorang pegawai rendah, namun lama-kelamaan taraf hidupnya mulai meningkat. Hingga ia terbiasa dengan makanan yang bergizi dan minyak misk. Terkadang juga dia mengambil minuman penguat yang memabukan alias tonic wine. (Majmu’ Ar Rasail, hal. 5)
Di masa remajanya, Mirza pernah memiliki masalah dengan psikologinya, kerana menderita hysteria. Ketika penyakit ini berlaku dia mungkin pengsan dan menjerit-jerit. (Sirah Al-Mahdi, 1/67)
Keluarganya termasuk pihak yang amat setia terhadap pemerintahan Inggeris. Bahkan ayahnyalah yang membantu Inggeris dengan 50 ekor kuda untuk kepentingan revolusi tahun 1807. (Kitab Al-Bariyah, hal. 3-5)
Meninggal Pasca Mubahalah
Pada tahun 1907, setelah memiliki ramai pengikut, Mirza mengadakan mubahalah dengan Maulana Tsanaullah Amritsari, dengan risiko barang siapa berbohong salah seorang di antara keduanya, maka ia akan mati. (Tabligh Ar Risalan, 10/120)
Pada Mei tahun 1908 Mirza dijangkiti penyakit kolera parah dan akhirnya meninggal. Ia dimakamkan di pemakaman yang dinamakan sebagai pemakaman syurga (Bahesti) di Qadian. Sedangkan Maulana Tsanaullah Amritsari sendiri baru wafat pada tahun 1948.
Sabtu, 24 Mac 2012
Dongeng Syiah jadian
Label:
Isu Syiah
Nampaknya kumpulan Syiah jadian atau pro-Syiah Malaysia terus memainkan propaganda kononnya Syiah itu halal dan baik (halalan toyyiban). Khilafnya hanya soal furu' membabitkan usul al-mazhab bukan usul al-din. Dengan itu macam-macam jalan menerusi pelbagai medium digunakan untuk menempatkan diri mereka sebagai sebahagian daripada masyarakat Islam di negara ini. Malangnya cara-cara yang digunakan itu sangat kotor, kerana pembohongan demi pembohongan terus menjadi budaya mereka.
Pertama, apabila akhbar Berita Harian (BH) hal. 6 pada 17 Mac 2012 dalam artikel berjudul "Lagi pertubuhan haram dikesan" menyebut kononnya KP Jakim telah mengatakan "“Majlis Fatwa Kebangsaan hanya membenarkan dua ajaran Syiah tidak ekstrem diamalkan di negara ini iaitu Syiah al-Zaidiyah dan Jaafariah”. Kenyataan ini sebenarnya bukan kenyataan KP Jakim tetapi kenyataan yang direka-reka sendiri oleh wartawan BH yang berkemungkinan pro-Syiah bernama Haika Khazi (Faizul Haika Mat Khazi).
Tidak diketahui di mana wartawan ini mendapat istilah "Syiah yang tidak ekstrem", kerana fatwa pengharaman Syiah di Malaysia bukan kerana ekstrem atau tidak tetapi kerana ia bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Kalau soal ekstrem, maknanya pengikut Ayah Pin, Rasul Melayu Hj. Kahar, al-Arqam pun jadi halal kalau mereka tak ekstrem, itulah mungkin cara pemikiran wartawan tersebut. Wartawan ini juga pernah menyebut istilah yang sama iaitu apabila mengulas ajaran sesat yang disekat termasuk Syiah ekstrem yang membawa maksud Syiah tidak ekstrem kononnya dibenarkan. Lihat sini.
Malangnya sehingga ke hari ini, walaupun kenyataan media KP Jakim supaya pembetulan dibuat telah dihantar kepada pihak BH tetapi nampaknya sehingga hari ini ia belum diterbitkan oleh pihak BH. Sebagai wartawan yang tinggal di negara Sunni sepatutnya dia sudah sedia maklum bahawa Syiah memang diharamkan di negara ini, fatwa mengenainya telah tersebar luas malah sembilan buah negeri telah mewartakannya sebagai haram.
Tidak timbul langsung soal ada dua Syiah iaitu Zaidiyah dan Ja'fariyah yang dibenarkan kerana itu cerita lama iaitu fatwa pada tahun 1984 dan telah berzaman-zaman ia dimansuhkan dengan fatwa pada tahun 1996. Lihat sini. Cuma kalau dilihat track record orang Syiah, mereka memang susah nak terima hukum nasakh dan mansukh ni, sama macam dalam bab mut'ah, walaupun ia telah dimansuhkan tetapi mereka bermatian-matian mengatakan ianya tidak mansuh!
Kedua, terdapat seorang blogger menamakan diri sebagai Revolusi Habib yang mencanangkan iklan kononnya akan mengadakan dialog / seminar 'Mampukah Sunni dan Syiah bersatu' yang kononnya akan dihadiri oleh pimpinan Persatuan Ulama Malaysia. Namun perkara ini telah dinafikan sekeras-kerasnya oleh Persatuan Ulama Malaysia di sini.
Bermakna ini semua propaganda daripada golongan Syiah Melayu jadian yang berselindung di sebalik pelbagai nama dan persatuan. Apa yang lebih membimbangkan pemilik blog ini bernama Khalid Mohd Ismath mempunyai kecenderungan terhadap pertubuhan Syiah Lubnan ala-militan iaitu Hizbullah seperti yang terpapar pada link facebook nya.
Kita sedia maklum apa yang dilakukan oleh Hizbullah sekarang di Syria malah di Lubnan terhadap umat Islam Sunni di sana. Lihat wawancara Mufti Sunni Lubnan ini. Klik sini. Mohon pihak Task-Force PDRM Bukit Aman memantau pergerakan budak ini insya-Allah.
Oleh itu, wahai blogger Syiah seperti Kamil Zuhairi dan lain-lain, janganlah anda berbohong atau mengambil sumber-sumber palsu sebegini untuk dijadikan hujjah-hujjah anda, marilah kita berhujjah secara ilmu, akademik dan fakta yang sahih dalam menilai dan mencari kebenaran.
Wallahu a'lam.
Langgan:
Catatan (Atom)